Buku yang berjudul Dinamo : Digital Nation Movement menceritakan tentang dahsatnya suatu program IT, yang mana bisa mengubah sesuatu menjadi nyata. Berbicara tentang dimensi aktivisme digital, tentu tidak lepas dari tantangan pertanyaan sederhana ini: apakah aktivisme berbasis perangkat media sosial digital yang virtual tersebut mampu menciptakan perubahan berbasis kenyataan yang real? Supaya jelas, ini semua bukan untuk melakukan digitalisasi aktivisme. Pertanyaan kedua lebih penting. Apa dan ke mana arah perubahan yang nyata itu berjalan? Dengan tindakan langsung. Tak mudah menjawabnya memang. Yang pasti, saya merasakan adanya dua tren besar. Indonesia disebut sebagai bangsa digital karena besarnya jumlah pengguna media sosial digital di negeri ini. Dibanding negara seperti China memang tak seberapa. Tapi keragaman tipologi pengguna internet di Indonesia membuatnya jadi lebih dinamis. Bahkan kandungan interaksi yang ada pada ranah maya, terutama media sosial, sudah menjadi bagian dari alam berpikir publik. Mulai dari kaum selebritas, organisasi, serikat buruh sampai warga biasa telah menggunakan platform media sosial digital untuk membincangkan isu-isu publik, selain isu-isu privat. Pelaku pengeboman ikan di Mentawai berhasil ditangkap.Seorang TKI berhasil lolos dari vonis hukuman mati.Pembangunan pabrik baja di sebuah situs budaya dihentikan.Berita baik tidaklah datang dengan sendirinya. Sebuah peraturan yang kita anggap tak adil pun bisa berubah. Pernahkah kita membayangkan, bahwa serangkaian peristiwa di atas bermula dari sebuah petisi online? Ya, petisi online. Inilah masa dimana media sosial memainkan pengaruhnya. Kita tak boleh abai dan diam saja terhadap berbagai hal butuk di sekitar kita. Kita harus mengawal kebijakan pemerintah. Saya tidak bisa melakukan ini sendirian. Anda juga tidak. Mari petakan masalah, sebarkan, dan galang dukungan. Ayo bergabung dan lakukan perubahan.